"Bandung selatan di waktu malam, Berselubung sutra mega putih, Laksana Putri Lenggang Kencana, Duduk menanti akan kekasih...."
Keroncong mengalun membawa cerita bagaimana Bandung, khususnya di wilayah selatan, tergambarkan pada masa lampau.
Begtulah setidaknya suasana tahun 1948, ketika Ismail Marzuki menciptakannya di tengah kesibukannya di kota tersebut bersama grup musik Lief Java, siaran radio Nederlands Indische Radio Omroep Maaeshapappij (NIROM), sampai akhirnya bertemu pasangan hidupnya, Euis Andjung.
"Syair lagu itu dengan sangat romantis mengagumi keindahan tanah Bandung Selatan. 'Aku' lirik menceritakan suasana ketika Bandung Selatan diselimuti kabut yang keelokannya sebanding Putri Lenggang Kencana (putri cantik dari legenda Tanah Pasundan)," tulis Teguh Esha dkk dalam buku Ismail Marzuki: Musik, Tanah Air, dan Cinta.
Bandung saat itu begitu akrab dengan kabut. Oleh karenanya, tidak terbayang bagaimana dinginnya, juga segarnya bernapas saat itu, manakala udara bisa tersalurkan dengan leluasa dari Gunung Puntang dan Malabar.
Terceritakan pula di sana, bagaimana alamnya itu turut berpengaruh pada kehidupan masyarakatnya. "Kebiasaan penduduk setempat kala malam bulan purnama. Prianya sedang meniup seruling, dan wanitanya menembangkan lagu-lagu yang diturunkan oleh para leluhur. Keindahan Bandung Selatan tidak mungkin dilupakan," ulasnya lagi tentang lagu yang dinyanyikan oleh Suhaeri dengan kelompok keroncong pimpinan M Sagi itu.
Kesejukan Bandung sebagai wilayah berpenduduk tidak terlepas dari predikatnya sebagai kota tertinggi di Pulau Jawa setelah Lembang dan Garut.
Bandung berada 768 meter di atas permukaan laut sehingga lebih menjulang dibanding Sukabumi, Bogor, Yogyakarta, Solo, hingga Jakarta. Karena itu pula, tidak mengherankan jika kondisi segar alamnya lantas menarik minat banyak pengunjung, banyak wisatawan, bahkan sejak lama.
“Bisa dibayangkan, 200.000 wisatawan berkunjung ke kota ini, sedangkan penduduk Bandung pada waktu itu (tahun 1941) hanya 226.877 jiwa,” tulis Haryoto Kunto dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe.
Situasi ini agaknya berselarasan dengan semangat masyarakatnya untuk membangun. Semangat itu sendiri sudah ditandai sejak kehadiran Wali Kota Bandung pertama, B Coops, yang memerintah pada tahun 1913-1928.
“Paman Coops mengurus Kota Bandung seperti ia mengurus halaman rumahnya sendiri, menurut Tuan Hoogland (wartawan kota Bandung saat itu),” tulis Haryoto Kunto. Penggantinya, Ir JEA von Wolzogen Kuhr, mahaguru Technische Hoogeschool Bandung (sekarang Institut Teknologi Bandung atau ITB) makin menggiatkan pembangunan di sana.
Maka lumrah saja jika kemudian Bandung semakin diminati, bukan hanya sebagai tujuan wisata, melainkan juga untuk hidup bersamanya, atau dengan kata lain menjadikannya sebagai tempat tinggal. Alhasil, lonjakan pertambahan penduduk Kota Bandung menurut sumber yang sama menembus rekor satu juta jiwa pada tahun 1959-1960. “Jumlah penduduk Bandung tahun 1959 sebesar 986.880 jiwa meningkat pada tahun 1960 menjadi 1.028.245 jiwa,” tulis Haryoto Kunto yang mengutip Data-Data Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung 1974.
Arus lalu lintas pada akhirnya semakin padat dan akses tidak pelak menjadi hal penting di kota ini seperti diberitakan Kompas, Rabu 7 Agustus 1974. Kala itu, Bandung sudah mulai berhadapan dengan kemacetan lalu lintas. Oleh karenanya, pemerintah membangun jalan nadi Bandung Selatan atau Bandung Arternal Highway dengan panjang total 18,4 kilometer, dari Cibeureum di sebelah barat sampai ke Cibiru di Bandung Timur.
Lalu bagaimana wajah Bandung, terutama Bandung Selatan, pada saat ini? Jika kemudian yang tersisa adalah nostalgia, rupanya masih ada usaha untuk mengembalikan keselarasan alam dan kenyamanannya, seperti yang diusahakan Podomoro Park di kawasan Buah Batu. Mereka mencoba kembali menata hunian di wilayah Bandung Selatan dengan menerapkan desain kawasan hunian Woodbrige Irvine California serta desain masterplan dan lanskap dari Palmscape Singapura.
Demi menyeimbangkan kebutuhan akan bangunan tinggal dan keperluan lainnya, mereka memantabkannya dengan lima elemen hunian resor. Pertama, pepohonan rimbun dan taman kolektif untuk menciptakan kembali siklus oksigen sekaligus menjadikannya sebagai paru-paru kota.
Elemen lainnya berupa danau sepanjang lebih kurang 1 kilometer yang bisa dimanfaatkan sebagai area rekreasi air. Elemen selanjutnya adalah memastikan bahwa hampir 50 persen lahan—dari total lebih kurang 100 hektar lahan—digunakan sebagai ruang terbuka hijau, yang di sisi lain memungkinkan anak-anak untuk bisa bermain di ruangan terbuka.
Tidak terlepas juga bagaimana desain hunian mereka memiliki pemandangan pegunungan Bandung Selatan, yang selanjutnya memperoleh embusan udara langsung dari pegunungan, yang alirannya mengalur layaknya wind tunnel. Setelah selaras dengan alamnya, pengembang di hunian yang bersistem keamanan 24 jam ini pun menyiapkan lahan seluas 10 hektar sebagai area komersial, jogging track di tepian danau, serta club house yang mencakup kolam renang, pusat kebugaran, dan ruang serba guna.
Paham akan kian padatnya arus lalu lintas Bandung, maka kompleks hunian ini pun dibangun dengan jarak 2 km dari Pintu Tol Buah Batu, sebagai akses ke kota lain, seperti Jakarta.
Kuncinya pada akhirnya adalah soal keselarasan, yakni antara Bandung yang kini kian memikat masyarakatnya untuk tinggal—sehingga Agung Podomoro Land masuk dan coba berperan mengangkat wilayah selatan ini—serta Bandung yang dengan sisi nostalgianya sudah begitu erat.
Oleh karenanya, mewujudkan “Bandung Tempo Doeloe” pun dilakukan demi memori yang tidak lekang di masyarakat, seperti yang dulu pernah mengena di hati Ismail Marzuki.